Senin, 24 Desember 2007

Bicara tentang Hati

Pengantar
Saat kita menghadapi suatu masalah yang sulit untuk dipecahkan (dicarikan solusinya), seringkali perasaan di dalam diri kita mem-vonis bahwa seluruh hidup kita ini seolah sudah berakhir pula. Apalagi masalah tersebut senantiasa menghantui pikiran kita, kapan saja, dimana saja. Masalah yang tak terselesaikan tersebut bahkan tidak lagi mengenal waktu dan tempat terus mengikuti diri kita bagaikan bayang-bayang yang melekat.
Ilmu pengetahuan tentang manusia dan perilakunya (Psikologi) mendeskripsikan hal tersebut sebagai suatu kondisi diri yang tertekan (stress), dan solusi awal terbaiknya disarankan untuk memulai mengenal diri sendiri yang sedang menghadapi tekanan tersebut. Uraian berikut akan membahas bagian dalam diri kita yang sangat berperan terhadap kemampuan daya tahan terhadap segala macam tekanan dari dalam maupun luar tubuh kita, yaitu Hati
Hati yang akan kita bahas, bukanlah “hati” dalam pengertian anatomi maupun fisiologi tubuh kita, yang dalam bahasa biologi/latin-nya disebut hepar. Hati yang menjadi topik bahasan kita kali ini tidak lain adalah hati dalam jangkauan psikologi atau jiwa seseorang, dan lebih populer kita sebut sebagai hati nurani atau kalbu/qolbu.
Hati merupakan bagian yang sangat esensial dalam diri manusia, karena rekaman aktivitas Hati ini, selain akan menjadi data faktual, juga akan menjadi bagian dari alat bukti sebagai pendukung dari tanggung jawab yang akan dilakukan kelak di padang mahsyar (akhirat), sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya." (Al-Isra: 36).
Hati selain menjadi penentu identitas perilaku dan atau perbuatan seseorang, hati menjadi kunci utama dan pertama yang akan membuka tabir seluruh episode langkah kehidupan kita di dunia, mengingat seluruh organ tubuh kita dikendalikan oleh kehendak hati. "Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan menjadi baik semuanya, dan apabila segumpal daging itu jelek, maka akan jeleklah semuanya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Berikut kita deskripsikan beberapa pemahaman tentang hati yang bersumber dari beberapa akumulasi pemikiran, dan mungkin akan menjadi lebih lengkap manakala para pembaca tulisan ini berkontribusi secara aktif serta positif.
1. Hati yang mati

Yaitu hati yang tidak mengenal apalagi memahami Rabbnya (pencipta sekaligus penguasa terhadap dirinya). Hati yang telah mati, selalu mengajak diri ini agar tidak melakukan ibadah sesuai dengan apa yang diperintahkanNya, namun selalu menuntut agar dirinya selalu memeperoleh apa saja yang diinginkannya, bahkan menuntut pula agar selalu dicintaiNya. Hati yang mati mendorong diri ini agar selalu memperturutkan nafsu dan syahwatnya, serta larut dalam kenikmatan maupun hingar bingarnya kehidupan semu duniawi, walaupun ia tahu bahwa hal itu sangat dimurkai dan dibenci oleh Allah. Seseorang dengan hati yang telah mati, akan melupakan tugas kuwajibannya untuk mencari keridhaan Allah, serta menjauhi laranganNya. Tatkala memuaskan diri dengan nafsu syahwatnya itu dirinya justru menghamba kepada selain Allah, yaitu hawa nafsu diniawinya (nafsu kemurkaan, nafsu keserakahan, nafsu kedengkian maupun nafsu birahi syahwat seksual radikalnya).
Seseorang yang hatinya mati;

Apabila ia mencintai, maka cintanya karena nafsunya.
Apabila ia membenci maka bencinya karena nafsunya.
Apabila ia memberi maka pemberian itu karena nafsunya.
Apabila ia menolak maka tolakannya atas dasar nafsunya,
Orang yang demikian menjadikan hawa nafsu sebagai imamnya, syahwat sebagai komandannya, kebodohan menjadi penasehat pribadinya, dan kelalaian sebagai tunggangan untuk memenuhi ambisinya. Pikirannya secara mutlak terobsesi hanya untuk mendapatkan serta memenuhi keinginan dunia semata. Harta kekayaan, kekuasaan dan kekuatan adalah sesembahan yang terus akan dipertahankannya selama mungkin. Sehingga dengan cara apapun tujuan akhir hidupnya yang menghamba kepada kenikmatan duniawi tersebut akan terus dilestarikan bahkan juga dibudayakan melalui pembenaran “sakral”.
Seseorang yang mati hatinya, tidak pernah meminta kepada Allah, karena bukan lagi Allah yang menjadi orientasi hidup serta kehidupan dirinya. Tidak pula pribadi dengan hati yang mati, membutuhkan nasehat-nasehat dari hamba Allah yang sholeh/sholechah, karena memang dirinya sedang terlena mengikuti langkah-langkah syetan yang selalu merayu dan menggodanya.
Bersahabat dengan seseorang yang hatinya telah mati, haruslah sangat berhati-hati atau lebih baik tidak berkomunikasi dalam tataran “sahabat” apalagi “sochib/sahabat dekat”, karena pada akhirnya hanya akan mencelakakan kita. Berkawan dengan seseorang yang hatinya beku (mati), akan melahirkan bangunan kerjasama untuk mensukseskan proyek-proyek maksiatnya, dan bercengkerama dengannya akan menyeret kita untuk mengimbangi dan mengkonsumsi isi cengkerama yang menjauhkan kita dari kesucian diri yang menjadi modal kedekatan kita dengan Allah SWT.
2. Hati Yang Sakit

Adalah hati yang “hidup dalam keadaan sakit”/ “hati yang ragu-bingung/ hati yang mendua”, yaitu hati orang yang taat terhadap perintah-perintah Allah di satu sisi, tetapi sering pula berbuat maksiat, dan kadangkala haram dan halal saling dibenturkan untuk mengalahkan keduanya, bahkan diupayakan untuk saling diintegrasikan untuk menutupi tindakan maksiat dengan kulit (cover) ibadah. Seseorang yang sedang “sakit” hatinya seperti ini lebih sering kita sebut sebagai pendusta agama.
Hati yang “sakit” dapat pula diekspresikan oleh seseorang dengan mencintai Allah, beriman kepadaNya beribadah kepadaNya dan tawakkal juga kepadaNya, itu semua selalu dilakukannya, akan tetapi ia juga mencintai nafsu syahwat duniawinya serta berusaha untuk meraihnya, menikmatinya dan mendapatkannya serta mempertahankannya. Hati, bagaimanapun kondisinya akan sangat menentukan nilai serta makna dalam beribadah kepada Allah. Keraguan dan kebingungan hati, akan menyebabkan seseorang terombang-ambing antara dua keinginan yaitu keinginan terhadap kenikmatan kehidupan kekal di akhirat serta keinginan untuk mendapatkan dan mempertahankan selama mungkin, gemerlapnya kehidupan dunia.
Agama tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk melakukan bargaining terhadap defraksi “hitam” (haram) atau “putih” (halal)nya ketentuan amal ibadah kepada Allah, sehingga tercipta nuansa baru “abu-abu” nya keinginan dan egoisme manusia. Itulah Standar Kualitas (Quality Standard) yang diajarkan Allah kepada kita tentang “Mutu Keimanan” seorang hamba kepada pencitanya yaitu Allah SWT.
3. Hati yang “sehat/selamat”

Hati yang sehat tidak hanya terbebas dari berbagai penyakit hati, akan tetapi juga terbebas dari hati yang ragu apalagi hati yang menduakan Allah SWT. Hati yang sehat sangat tahu dan sadar bahwa kecintaannya terhadap Allah tidak dapat ditukar dengan apapun juga. Tidak pula dapat digantikan dengan kecintaan kepada istri ataupun anak-anaknya, bahkan oleh seluruh hartanya sekalipun!. Hati yang selamat (sehat) tidak pernah mengenal konformitas, kecuali hanya menjalankan perintah Allah dengan ikhlas, semata-mata mencari ridhonya Allah.
Firman Allah: "(Yaitu) di hari yang harta dan anak-anak tidak akan bermanfaat kecuali siapa yang datang mengharap Allah dengan membawa hati yang selamat." (Asy-Syura: 88-89).
Ayat tersebut di atas sangat menarik untuk kita bahas, mengingat hampir seluruh waktu, peluang, kesempatan dari hidup dan kehidupan kita, ternyata dapat terpeleset pada penghambaan kepada selain Allah. Harta benda yang kita buru dan kita kejar-kejar setiap saat (pagi, siang, sore bahkan sampai malam dan pagi lagi), juga anak laki-laki kita yang sukses secara materiel dan sangat dibanggakan oleh keluarga kita, semuanya itu tidak akan memberi manfaat, kecuali siapapun yang datang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat.

Hati yang selamat yaitu hati yang terbebas dari semua nafsu syahwat yang bertentangan dengan perintah Allah dan laranganNya, bahkan juga terbebas dari semua syubhat yang memalingkan diri dari kebenaran yang diakui oleh hati nurani. Esensi hati yang selamat adalah hati yang mengendalikan dan mengatur secara rithmis perjalanan dari peribadatan dan penghambaan diri kita secara total dan tanpa kompromi negatif (tidak melakukan tawar menawar) terhadap perintah Allah.
Hati yang selamat juga merupakan hati “berserah diri hanya kepada Allah”, yaitu hati yang terbebas dari hukum yang tidak diajarkan oleh Allah dan RasulNya, dan mengikhlaskan seluruh peribadatannya hanya karena Allah, iradahnya, kecintaannya, tawakkalnya, taubatnya, ibadah qurbannya dalam bentuk hewan sembelihan, takutnya, taatnya, diikhlaskannya semua hanya untuk Sang Pencipta Yang Maha Pemberi Kasih Sayang yaitu Allah SWT.
Apabila ia mencintai, maka cintanya karena Allah, apabila ia membenci, maka bencinya karena Allah,apabila ia memberi, maka memberinya karena Allah, apabila menolak, maka menolaknya karena Allah. Dan sesuai dengan pengakuan kita dalam mengimani keislaman kita, maka juga menjadi kuwajiban kita mengikuti jejak langkah serta pesan maupun ungkapan Muhammad Rasulullah SAW. Firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya, bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Hujurat: 1).
Penutup

Kebebasan hati nurani/qalbu untuk memilih memang sangat terbuka, namun harus dipertanggung-jawabkan secara elegant, apapun pilihan itu, apakah hati yang mati, hati yang sakit ataupun hati yang sehat/selamat.
Hanya ajaran syetan yang menganut faham “bebas berbuat tanpa batas” dan “tak perlu pertanggung jawaban apapun”, karena memang syetan telah dengan sadar dan sengaja MENOLAK PERINTAH ALLAH untuk bersujud kepada Adam,A.S. Refleksi sikap syetan adalah iri hati serta dengki (hati yang mati).

Jangan pula kita mengulangi kekeliruan yang pernah terjadi sehingga menyebabkan kemurkaan Tuhan, dengan menurunkan Adam,A.S serta Ibu Hawa/Eva/Iff dari sorga ke bumi, melalui pelanggaran terhadap aturan Tuhan.
Bencana alam yang terjadi di bumi kita yang hanya satu ini, terlebih disebabkan oleh kehendak dan keinginan manusia yang secara sadar maupun tidak sadar telah melanggar aturan Tuhan dengan cara merusak keseimbangan alam (berupa pembalakan hutan, penambangan alam yang tidak mengikuti kaidah moral dan hati nurani). Pemanasan global (global warming) sudah kita sadari bersama sebagai akibat tingginya emisi gas buang, apalagi emisi dari sisa pembakaran energi alam yang tak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Lubang Ozon (damage in the Ozone layer) yang mengancam kehidupan, juga telah menyadarkan seluruh bangsa di dunia, sebagai akibat dari penggunaan ChloroFluoroCarbon (CFC) yang tak terkendali dalam bentuk-bentuk kenikmatan sesaat dari freon mesin pendingin (Air Conditioning/AC) sampai ke berbagai “spray” yang kita gunakan. “Efek rumah kaca” telah pula menghantui umat manusia, karena kenaikan secara bertahap tapi pasti dari suhu udara, pasti akan berpengaruh negatif terhadap kondisi kehidupan di bumi ini.
Agama yang telah diberikan Allah untuk menyelamatkan kehidupan hambaNYa, memang diperuntukkan kepada mereka yang berpikir (saja). Tidak satupun perintah Tuhan diwajibkan kepada hambaNya yang tidak mampu berpikir, dan Allah Maha Tahu serta Maha Pengasih kepada seluruh hamba yang diciptakanNya, kecuali mereka sendiri yang menganiaya dirinya dengan meninggalkan Tuhan yang menciptakannya. Pikiran untuk menolak atau menjalankan perintah Allah tersebut dikendalikan oleh Hati/Nurani/Qalbu kita. Pikiran untuk melanggar aturan Tuhan atau melaksanakan aturan Tuhan juga dikendalikan oleh Hati/Nurani/Qalbu kita. Manakala kita mendekati Allah dengan dua atau tiga langkah melalui ibadah yang khusyu’, maka Allah akan mendekati kita dengan empat atau lima langkah kearah kita. Manakala kita merasakan kedekatan Allah sebegitu dekatnya dengan diri kita, maka Allah ternyata berada lebih dekat dari urat nadi kita. Lalu dimana Allah saat itu berada?. InsyaAllah ada di dalam Hati/Nurani/Qalbu kita sendiri. Pencarian keberadaan Tuhan di dalam hati yang bersih, sehat dan selamat memang tidak mengenal ruang dan waktu, karena kuasa Allah sendiri memang terbebas dari keterbatasan ruang dan waktu. Allah Maha Murah, mari berbaik sangka (ber-chusnudhlon) kepada Allah, sehingga saat kita merasa berada dalam kesendirian dengan hati yang bersih, sehat dan selamat, maka sebenarnya Allah ada di dekat kita, bahkan ada di dalam Hati kita. Pada saat itulah kita mengadu kepadaNya, memohon kepadaNya agar kita dibebaskan dari seluruh masalah yang kita hadapi, dengan cara berserah diri sepenuhnya hanya kepada Allah SWT.

Insya Allah hati yang bersih, sehat dan selamat akan menjadi pintu gerbang kita untuk senantiasa hidup di dalam kasih sayang dan cintanya Allah SWT. Amien ya roballalamien.

Source : berbagai referensi, termasuk dari alumni ESQ di Yahoo group dan Manajemen Qolbu.

Tidak ada komentar: